A.
Seni Tradisional Khas Tulungagung
a. Kentrung
Kesenian ini merupakan seni bercerita di Tulungagung. Kentrung
Tulungagung dimainkan oleh dua orang, terdiri dari dalang yang merangkap
sebagai pemain kendang dan satu 'pengrawit' sebagai pendukung dalang dan
memainkan Ketipung dan Terbang. Kentrung yang masih berkembang di Tulungagung
adalah kentrung Jaimah yang terletak di dusun Patik, desa Batangsaren, Kauman.
b.
Gamelan
Musik tradisonal ini sudah berkembang luas di
Tulungagung, meskipun sebenarnya bukan musik asli Tulungagung. Gamelan yang
dimainkan hanya mengikuti lantunan gending dinamakan uyon-uyon, gamelan ini
biasanya untuk mengiringi wayang kulit, wayang orang, ketoprak, ludruk,
tari-tarian dan lain-lain.
Pada akhir-akhir ini gamelan banyak dipadukan dengan musik
modern untuk mengiringi campursari, dan juga untuk mengiringi seni jaranan.
c.
Ketoprak
Ketoprak adalah
kesenian tradisional yang dipanggungkan dan selalu menceritakan pelaku kerajaan
masa lalu, sehingga keadaan panggung dihiasi sedemikian rupa dengan kelir atau
begron yang disesuaikan dengan keadaan atau kejadian masa lalu.
Ketoprak Siswo Budoyo adalah
ketoprak di Tulungagung yang sangat terkenal di mana-mana. Sejak meninggalnya
pimpinan Ketoprak Ki Siswondo Hardjosoewito, kesenian ketoprak semakin surut,
belum ada generasi muda yang merintis bahkan banyak generasi muda yang tidak
tahu apa ketoprak itu.
d.
Jaranan
Seni Jaranan ini hampe semua desa
memiliki grup, dan masyarakat dari anak-anak sampai dewasa banyak yang
mengetahui dan mengenalnya, ada beberapa jenis jaranan yang berkembang di Tulungagung, yaitu Jaranan Jawa, Jaranan
Pegon, Jaranan Campursari, dan Jaranan Senterewe.
Tulungagung terkenal dengan kesenian
Jaranan Campursari, kesenian Jaranan ini mengikuti perkembangan jaman.
Penampilan Jaranan Campursari dibuat tampil beda dengan jaranan masa lalu, yang
mana selain menampilkan tari-tarian khas Jaranan juga diikuti lagu-lagu
campursari
Jaranan Campursari yang terkenal
sampai kepelosok-pelosok karena telah banyak direkam dengan VCD adalah Jaranan
Safitri Putro dari wilayah Boyolangu, Jaranan Kuda Birawa dari Dusun Sedayu
Bungur Kecamatan Karangrejo. Dan kemudian banyak disusul grup-grup kesenian
Jaranan Campursari lain dari berbagai desa di Tulungagung.
Jaranan yang oleh masyarakat
pendukungnya diyakini muncul sejak jaman Kerajaan Kediri. Salah satu bentuknya
adalah Jaranan Senterewe, yakni tarian yang sekaligus digunakan untuk menghalau
segala yang ditimbulkan oleh makhluk halus.
e. Reog Kendang
Reog Tulungagung pernah berkembang dan meraih
perhatian publik. Bahkan, semua orang di Tulungagung mengetahui tentang Reog
Tulungagung sebagai seni tradisional. Jumlah penari reog ini ada 6 secara
paralel dengan instrumentalis wajib pengiring reog, yaitu "dhodhog",
dan semua penari tadi menggunakan Udheng gilig, yaitu kostum khusus sebagai
pengikat kepala.
f.
Jedor
Jedor adalah salah satu kesenian tradisional yang
bernafaskan keislaman. Dapat diketahui, wilayah persebarannya meliputi Kediri,
Tulungagung, Blitar, dan Malang. Menurut informasi, Jedor dibagi menjadi : 1
Jedor Jemblung, 2 Jedor Janjan, dan 3 Jedor Berjanji. Dari teks yang ada,
pembahasan dibatasi pada Jedor Janjan dengan fokus tilikan karakteristik bentuk
kenahasaan dan muatan nilai yang dikandngnya sehinngga kedudukannya sebagai
sastra lisan sapat diperjelas.
Berdasarkan kajian pendahuluan ini diperoleh
kesimpulan bahwa Jedor Janjan disampaika dalam berbagai ragam bentuk meliputi
(1) parikan, (2) wangsalan, (3) lafal dzikir, (4) lafal doa, dan (5) salawatan.
Muatan nilai yang dikandungkan adalah dakwah. Fungsinya untuk menyampaikan
wawasan Ketuhanan.
g.
Tiban
Kesenian Tiban semakin jarang dimainkan.
Jumlah pemain juga semakin sedikit. Anggota Barisan Ansor Serba Guna (Banser)
berupaya melestarikan kesenian tersebut. Alunan berirama mangiringi puluhan
pemain yang beradu cambuk.
Masing-masing telanjang dada sambil
membawa cambuk lidi pohon aren. Setiap pemain Tiban mendapat jatah enam kali
cambukan. Kelompok Tiban Suron Tani merupakan anggota Banser Kecamatan
Boyolang, mulai dari pemain hinnga pemukul gamelan. Kelompok ini sering kali
tampil di beberapa daerah. Biasanya, merekan di undang untuk ritual agar segera
turun hujan atau tolak balak (usir bencana). Dalam kesenian Tiban dibutuhkan
nyali atau keberanian. Jika canggung lebih baik jangan, sangat berbahanya. Jika
tidak mengerti strateginya, kulit punggung bisa robek terkena ujung cambuk lidi pohon aren.
Biasanya, jika kulit terkena cambuk lidi pohon aren, sakit selama 3 hari.
Perihnya minta ampun. Setelah itu sembuh dengan sendirinya.
Pemain Tiban sejati akan merasa
gatal dan ingin bermain jika mendengar alunan music gamelan khas Tiban. Istilahnya
krejutan (bernafsu untuk bermain).
h. Temanten
Kucing
Tradisi budaya Manten Kucing ini berada di Desa Pelem,
Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Menurut warga sekitar Desa Pelem,
bahwasanya tradisi budaya Manten Kucing ini selalu diselenggarakan setiap
tahun, dan juga penuh dengan kesakralan.
Uniknya
didalam upacara tradisi Manten Kucing ini adalah sepasang kucing jantan dan
betina. Awalnya daerah Desa Pelem dan sekitarnya dahulu kala dilanda kemarau
panjang, hingga warga kesulitan untuk mendapatkan air. Eyang Sangkrah adalah
tokoh yang membabat Desa Pelem, suatu ketika Eyang Sangkrah mandi di sebuah
telaga, yaitu Telaga Coban.
Ketika
Eyang Sangkrah mandi di Telaga Coban, Beliau membawa serta se-ekor kucing di
telaga tersebut. Kucing Condro Mowo, sebutan kucing yang dibawa oleh Eyang
Sangkrah, setelah di Telaga Coban kucing tersebut dimandikan. Anehnya, sepulang
dari mandi di Telaga Coban, di kawasan Desa Pelem turun hujan deras. Warga yang
lama menunggu turunnya hujan, tidak bisa menyembunyikan perasaan syukur dan
bahagia. Saat itulah, warga menyakini turunnya hujan tersebut ada kaitannya
dengan peristiwa Eyang Sangkrah yang memandikan Kucing Condro Mowo. Sehingga
tradisi tersebut menjadi tradisi, yang setiap tahun diselenggarakan oleh warga
Desa Pelem, dengan sebutan tradisi budaya “Manten Kucing”.
Ketika
Desa Pelem dijabat oleh Demang Sutomejo, tahun 1926, Desa Pelem, Kecamatan
Campurdarat kembali dilanda kemarau panjang. Saat itu Demang Sutomejo
mendapatkan wangsit (petunjuk) untuk mengadakan upacara memandikan kucing di
Telaga Coban. Maka, dicarilah dua ekor kucing Condro Mowo. Kemudian, dua ekor
kucing itu dimandikan di Telaga Coban. Akhirnya beberapa hari kemudian turunlah
hujan mulai mengguyur di Desa Pelem dan sekitarnya.
Prosesi
Manten Kucing ini, awalnya warga Desa Pelem mempersiapkan uburampe atau
persiapan untuk mengadakan upacara Manten Kucing. Setelah persiapan selesai,
maka prosesi kemudian adalah mengkirap kucing Condro Mowo yang diwadahi didalam
keranji. Adapun kucing yang dimaksud didalam prosesi tersebut adalah berwarna
putih dan hitam, yang terdiri dari kucing lanang (jantan) dan kucing wadon
(perempuan). Saat pengkirapan tersebut, kucing lanang lan wadon berada di
barisan paling depan sendiri, setelah itu di-ikuti oleh para sesepuh dan tokoh
desa. Para sesepuh dan tokoh desa tersebut juga memakai pakaian khas adat Jawa.
Setelah
sampai di Telaga Coban, kucing Condro Mowo dimandikan secara bergantian,
sebelum ditemukan layaknya manten manusia. Kucing Condro Mowo tersebut
dimandikan dengan air telaga yang dicampur dengan kembang setaman yang sudah
dipersiapkan terlebih dahulu. Usai dimandikan, kedua kucing itu diarak menuju
lokasi pelaminan. Di pelaminan tersebut sudah disiapkan aneka uburampe,
pasangan kucing jantan dan betina itu dipertemukan. Laki-laki dan perempuan
yang membawa kucing Condro Mowo, duduk bersandingan di kursi pelaminan.
Sedangkan kucingnya, berada di pangkuan laki-laki dan perempuan yang juga
memakai pakaian pengantin. Upacara pernikahan “Manten Kucing” tersebut ditandai
dengan pembacaan doa-doa yang dilakukan oleh sesepuh desa setempat. Kurang
lebih 15 (lima belas) menit upacara tradisi budaya Manten Kucing sudah selesai.
Uniknya
pada tahun 2007, atau tiga tahun yang lalu ketika upacara tradisi Manten Kucing
digelar, terdapat kearifal lokal yang dimunculkan. Ketika dipertemukan antara
kucing jantan dan kucing betina, orang yang sudah tua (sesepuh) duduk
dipelaminan sambil menyanyikan lagu-lagu tradisional, seperti;
Uyek-Uyek Ranti
Ono Bebek Pinggir Kali
Nuthuli Pari Sak Uli
Tithit Thuiiit… Kembang Opo?
Kembang-Kembang Menur
Ditandur Neng Pinggir Sumur
Yen Awan Manjing Sak Dhulur
Yen Bengi Dadi Sak Kasur
Ono Bebek Pinggir Kali
Nuthuli Pari Sak Uli
Tithit Thuiiit… Kembang Opo?
Kembang-Kembang Menur
Ditandur Neng Pinggir Sumur
Yen Awan Manjing Sak Dhulur
Yen Bengi Dadi Sak Kasur
Setelah
selesai prosesi Manten Kucing tersebut, maka acara selanjutnya adalah pagelaran
seni budaya. Pagelaran seni tersebut adalah Tiban dan Langen Tayup. Kesenian
Tiban disini adalah kesenian yang menggunakan cambuk yang terbuat dari lidi
pohon aren yang dipilin sebagai alatnya. Ketika salah satu pemain Tiban
tersebut mengeluarkan darah segar, maka menandakan prasyarat bahwa hujan akan
turun.
Sehingga mulai dari prosesi Manten Kucing, Tiban, dan Langen Tayub, merupakan kesatuan ritual untuk memohon diturunkannya hujan. Tradisi budaya semacam itu merupakan simbolisasi nilai-nilai kearifan lokal orang Jawa. Saat ini tradisi budaya Manten Kucing bukan semata-mata meminta hujan, melainkan sudah menjadi upacara tradisi yang diadakan setiap tahun. Kalau tidak diselenggarakan, maka warga takut kalau terjadi kemarau panjang, maupun bala bencana melanda.
Sehingga mulai dari prosesi Manten Kucing, Tiban, dan Langen Tayub, merupakan kesatuan ritual untuk memohon diturunkannya hujan. Tradisi budaya semacam itu merupakan simbolisasi nilai-nilai kearifan lokal orang Jawa. Saat ini tradisi budaya Manten Kucing bukan semata-mata meminta hujan, melainkan sudah menjadi upacara tradisi yang diadakan setiap tahun. Kalau tidak diselenggarakan, maka warga takut kalau terjadi kemarau panjang, maupun bala bencana melanda.
B. Rumah Adat Khas Tulungagung
Bentuk rumah adat Tulungagung
sabenarnya sudah tercemin pada Pendopo Kabupaten Tulungagung yang merupakan
rumah adat joglo, Rumah adat ini selain di pendopo di pedesaan masih banyak
rumah adat yang berdiri. Di pedesaan masih dapat kita temui rumah adat limas.
Rumahlimas ini atapnya berbentuk limas, berdinding anyaman bambu, pintu depan
berupa deretan pintu yang semuanya dapat dibuka. Tiang penyangga memilik 4
tiang utama, rumah limas terdiri dari bale, rumah belakang, dan dapur.
c. Pakaian Adat
Pakaian adat Tulungagung yang
merupakan Ciri khas dan kebanggan warga Tulungagung masih terpengaruh pakaian
adat Yogyakarta dan Surakarta. Pakaian
ini biasanya dipakai saat ada upacara tertentu, biasanya terdiri dari beskap,
blangkon, slop dan dilengkapi dengan keris terselip di pinggang.
Dalam pemilihan Kakang dan Mbakyu
Tulungagung yang diadakan Oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan seharusnya para
peserta diwajibkan merancang busana sebagai pakaian khas Tulungagung, sehingga
kota Tulungagung memiliki pakaian adat seperti pakaian adat kota-kota lain.
Misalnya pakaian adat Ponorogo, Malang, Surabaya, dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar