Selasa, 23 September 2014

Ragam Budaya Tulungagung

A. Seni Tradisional Khas Tulungagung

a. Kentrung
 
            Kesenian ini merupakan seni bercerita di Tulungagung. Kentrung Tulungagung dimainkan oleh dua orang, terdiri dari dalang yang merangkap sebagai pemain kendang dan satu 'pengrawit' sebagai pendukung dalang dan memainkan Ketipung dan Terbang. Kentrung yang masih berkembang di Tulungagung adalah kentrung Jaimah yang terletak di dusun Patik, desa Batangsaren, Kauman.

b. Gamelan
Musik tradisonal ini sudah berkembang luas di Tulungagung, meskipun sebenarnya bukan musik asli Tulungagung. Gamelan yang dimainkan hanya mengikuti lantunan gending dinamakan uyon-uyon, gamelan ini biasanya untuk mengiringi wayang kulit, wayang orang, ketoprak, ludruk, tari-tarian dan lain-lain.
Pada akhir-akhir ini gamelan banyak dipadukan dengan musik modern untuk mengiringi campursari, dan juga untuk mengiringi seni jaranan.

c. Ketoprak
                Ketoprak adalah kesenian tradisional yang dipanggungkan dan selalu menceritakan pelaku kerajaan masa lalu, sehingga keadaan panggung dihiasi sedemikian rupa dengan kelir atau begron yang disesuaikan dengan keadaan atau kejadian masa lalu.
            Ketoprak Siswo Budoyo adalah ketoprak di Tulungagung yang sangat terkenal di mana-mana. Sejak meninggalnya pimpinan Ketoprak Ki Siswondo Hardjosoewito, kesenian ketoprak semakin surut, belum ada generasi muda yang merintis bahkan banyak generasi muda yang tidak tahu apa ketoprak itu.

d. Jaranan
            Seni Jaranan ini hampe semua desa memiliki grup, dan masyarakat dari anak-anak sampai dewasa banyak yang mengetahui dan mengenalnya, ada beberapa jenis jaranan yang berkembang di  Tulungagung, yaitu Jaranan Jawa, Jaranan Pegon, Jaranan Campursari, dan Jaranan Senterewe.
            Tulungagung terkenal dengan kesenian Jaranan Campursari, kesenian Jaranan ini mengikuti perkembangan jaman. Penampilan Jaranan Campursari dibuat tampil beda dengan jaranan masa lalu, yang mana selain menampilkan tari-tarian khas Jaranan juga diikuti lagu-lagu campursari
            Jaranan Campursari yang terkenal sampai kepelosok-pelosok karena telah banyak direkam dengan VCD adalah Jaranan Safitri Putro dari wilayah Boyolangu, Jaranan Kuda Birawa dari Dusun Sedayu Bungur Kecamatan Karangrejo. Dan kemudian banyak disusul grup-grup kesenian Jaranan Campursari lain dari berbagai desa di Tulungagung.
            Jaranan yang oleh masyarakat pendukungnya diyakini muncul sejak jaman Kerajaan Kediri. Salah satu bentuknya adalah Jaranan Senterewe, yakni tarian yang sekaligus digunakan untuk menghalau segala yang ditimbulkan oleh makhluk halus.

e. Reog Kendang
Reog Tulungagung pernah berkembang dan meraih perhatian publik. Bahkan, semua orang di Tulungagung mengetahui tentang Reog Tulungagung sebagai seni tradisional. Jumlah penari reog ini ada 6 secara paralel dengan instrumentalis wajib pengiring reog, yaitu "dhodhog", dan semua penari tadi menggunakan Udheng gilig, yaitu kostum khusus sebagai pengikat kepala.

f. Jedor
Jedor adalah salah satu kesenian tradisional yang bernafaskan keislaman. Dapat diketahui, wilayah persebarannya meliputi Kediri, Tulungagung, Blitar, dan Malang. Menurut informasi, Jedor dibagi menjadi : 1 Jedor Jemblung, 2 Jedor Janjan, dan 3 Jedor Berjanji. Dari teks yang ada, pembahasan dibatasi pada Jedor Janjan dengan fokus tilikan karakteristik bentuk kenahasaan dan muatan nilai yang dikandngnya sehinngga kedudukannya sebagai sastra lisan sapat diperjelas.
Berdasarkan kajian pendahuluan ini diperoleh kesimpulan bahwa Jedor Janjan disampaika dalam berbagai ragam bentuk meliputi (1) parikan, (2) wangsalan, (3) lafal dzikir, (4) lafal doa, dan (5) salawatan. Muatan nilai yang dikandungkan adalah dakwah. Fungsinya untuk menyampaikan wawasan Ketuhanan.

g. Tiban
            Kesenian Tiban semakin jarang dimainkan. Jumlah pemain juga semakin sedikit. Anggota Barisan Ansor Serba Guna (Banser) berupaya melestarikan kesenian tersebut. Alunan berirama mangiringi puluhan pemain yang beradu cambuk.
            Masing-masing telanjang dada sambil membawa cambuk lidi pohon aren. Setiap pemain Tiban mendapat jatah enam kali cambukan. Kelompok Tiban Suron Tani merupakan anggota Banser Kecamatan Boyolang, mulai dari pemain hinnga pemukul gamelan. Kelompok ini sering kali tampil di beberapa daerah. Biasanya, merekan di undang untuk ritual agar segera turun hujan atau tolak balak (usir bencana). Dalam kesenian Tiban dibutuhkan nyali atau keberanian. Jika canggung lebih baik jangan, sangat berbahanya. Jika tidak mengerti strateginya, kulit punggung bisa robek  terkena ujung cambuk lidi pohon aren. Biasanya, jika kulit terkena cambuk lidi pohon aren, sakit selama 3 hari. Perihnya minta ampun. Setelah itu sembuh dengan sendirinya.
            Pemain Tiban sejati akan merasa gatal dan ingin bermain jika mendengar alunan music gamelan khas Tiban. Istilahnya krejutan (bernafsu untuk bermain).

h. Temanten Kucing
Tradisi budaya Manten Kucing ini berada di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Menurut warga sekitar Desa Pelem, bahwasanya tradisi budaya Manten Kucing ini selalu diselenggarakan setiap tahun, dan juga penuh dengan kesakralan.
Uniknya didalam upacara tradisi Manten Kucing ini adalah sepasang kucing jantan dan betina. Awalnya daerah Desa Pelem dan sekitarnya dahulu kala dilanda kemarau panjang, hingga warga kesulitan untuk mendapatkan air. Eyang Sangkrah adalah tokoh yang membabat Desa Pelem, suatu ketika Eyang Sangkrah mandi di sebuah telaga, yaitu Telaga Coban.
Ketika Eyang Sangkrah mandi di Telaga Coban, Beliau membawa serta se-ekor kucing di telaga tersebut. Kucing Condro Mowo, sebutan kucing yang dibawa oleh Eyang Sangkrah, setelah di Telaga Coban kucing tersebut dimandikan. Anehnya, sepulang dari mandi di Telaga Coban, di kawasan Desa Pelem turun hujan deras. Warga yang lama menunggu turunnya hujan, tidak bisa menyembunyikan perasaan syukur dan bahagia. Saat itulah, warga menyakini turunnya hujan tersebut ada kaitannya dengan peristiwa Eyang Sangkrah yang memandikan Kucing Condro Mowo. Sehingga tradisi tersebut menjadi tradisi, yang setiap tahun diselenggarakan oleh warga Desa Pelem, dengan sebutan tradisi budaya “Manten Kucing”.
Ketika Desa Pelem dijabat oleh Demang Sutomejo, tahun 1926, Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat kembali dilanda kemarau panjang. Saat itu Demang Sutomejo mendapatkan wangsit (petunjuk) untuk mengadakan upacara memandikan kucing di Telaga Coban. Maka, dicarilah dua ekor kucing Condro Mowo. Kemudian, dua ekor kucing itu dimandikan di Telaga Coban. Akhirnya beberapa hari kemudian turunlah hujan mulai mengguyur di Desa Pelem dan sekitarnya.
Prosesi Manten Kucing ini, awalnya warga Desa Pelem mempersiapkan uburampe atau persiapan untuk mengadakan upacara Manten Kucing. Setelah persiapan selesai, maka prosesi kemudian adalah mengkirap kucing Condro Mowo yang diwadahi didalam keranji. Adapun kucing yang dimaksud didalam prosesi tersebut adalah berwarna putih dan hitam, yang terdiri dari kucing lanang (jantan) dan kucing wadon (perempuan). Saat pengkirapan tersebut, kucing lanang lan wadon berada di barisan paling depan sendiri, setelah itu di-ikuti oleh para sesepuh dan tokoh desa. Para sesepuh dan tokoh desa tersebut juga memakai pakaian khas adat Jawa.
Setelah sampai di Telaga Coban, kucing Condro Mowo dimandikan secara bergantian, sebelum ditemukan layaknya manten manusia. Kucing Condro Mowo tersebut dimandikan dengan air telaga yang dicampur dengan kembang setaman yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Usai dimandikan, kedua kucing itu diarak menuju lokasi pelaminan. Di pelaminan tersebut sudah disiapkan aneka uburampe, pasangan kucing jantan dan betina itu dipertemukan. Laki-laki dan perempuan yang membawa kucing Condro Mowo, duduk bersandingan di kursi pelaminan. Sedangkan kucingnya, berada di pangkuan laki-laki dan perempuan yang juga memakai pakaian pengantin. Upacara pernikahan “Manten Kucing” tersebut ditandai dengan pembacaan doa-doa yang dilakukan oleh sesepuh desa setempat. Kurang lebih 15 (lima belas) menit upacara tradisi budaya Manten Kucing sudah selesai.
Uniknya pada tahun 2007, atau tiga tahun yang lalu ketika upacara tradisi Manten Kucing digelar, terdapat kearifal lokal yang dimunculkan. Ketika dipertemukan antara kucing jantan dan kucing betina, orang yang sudah tua (sesepuh) duduk dipelaminan sambil menyanyikan lagu-lagu tradisional, seperti;
Uyek-Uyek Ranti
Ono Bebek Pinggir Kali
Nuthuli Pari Sak Uli
Tithit Thuiiit… Kembang Opo?
Kembang-Kembang Menur
Ditandur Neng Pinggir Sumur
Yen Awan Manjing Sak Dhulur
Yen Bengi Dadi Sak Kasur
Setelah selesai prosesi Manten Kucing tersebut, maka acara selanjutnya adalah pagelaran seni budaya. Pagelaran seni tersebut adalah Tiban dan Langen Tayup. Kesenian Tiban disini adalah kesenian yang menggunakan cambuk yang terbuat dari lidi pohon aren yang dipilin sebagai alatnya. Ketika salah satu pemain Tiban tersebut mengeluarkan darah segar, maka menandakan prasyarat bahwa hujan akan turun.
Sehingga mulai dari prosesi Manten Kucing, Tiban, dan Langen Tayub, merupakan kesatuan ritual untuk memohon diturunkannya hujan. Tradisi budaya semacam itu merupakan simbolisasi nilai-nilai kearifan lokal orang Jawa. Saat ini tradisi budaya Manten Kucing bukan semata-mata meminta hujan, melainkan sudah menjadi upacara tradisi yang diadakan setiap tahun. Kalau tidak diselenggarakan, maka warga takut kalau terjadi kemarau panjang, maupun bala bencana melanda.

B. Rumah Adat Khas Tulungagung

            Bentuk rumah adat Tulungagung sabenarnya sudah tercemin pada Pendopo Kabupaten Tulungagung yang merupakan rumah adat joglo, Rumah adat ini selain di pendopo di pedesaan masih banyak rumah adat yang berdiri. Di pedesaan masih dapat kita temui rumah adat limas. Rumahlimas ini atapnya berbentuk limas, berdinding anyaman bambu, pintu depan berupa deretan pintu yang semuanya dapat dibuka. Tiang penyangga memilik 4 tiang utama, rumah limas terdiri dari bale, rumah belakang, dan dapur.

c. Pakaian Adat
            Pakaian adat Tulungagung yang merupakan Ciri khas dan kebanggan warga Tulungagung masih terpengaruh pakaian adat  Yogyakarta dan Surakarta. Pakaian ini biasanya dipakai saat ada upacara tertentu, biasanya terdiri dari beskap, blangkon, slop dan dilengkapi dengan keris terselip di pinggang.
            Dalam pemilihan Kakang dan Mbakyu Tulungagung yang diadakan Oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan seharusnya para peserta diwajibkan merancang busana sebagai pakaian khas Tulungagung, sehingga kota Tulungagung memiliki pakaian adat seperti pakaian adat kota-kota lain. Misalnya pakaian adat Ponorogo, Malang, Surabaya, dan lain sebagainya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar